Pesantren Teroris

Pembatas 'cap' itu harus kita singkirkan dari dalam kepala “Mas, ini gerbang pesantren apa ya?” Itulah pertanyaan yang aku ...

Pembatas 'cap' itu harus kita singkirkan dari dalam kepala
“Mas, ini gerbang pesantren apa ya?”

Itulah pertanyaan yang aku tanyakan pertama kali kepada pegawai salah satu pengusaha asal solo ketika sampai di kantor si pengusaha itu. Aku bertanya karena aku tidak tau. Dan aku benar-benar penasaran tentang pesantren itu. Kantor sang pengusaha itu berada di gang sempit dan lumayan jauh dari tengah kota solo. Letaknya di jalan ngruki, cemani, kabupaten sukoharjo.

Sebelum aku cerita lebih jauh lagi. Aku ingin meminta pemakluman dari pembaca sekalian. Bahwa tulisanku ini belum baik dan tertata. Mohon maaf apabila nanti ini membingunkan saudara. Semoga bisa dimengerti dan ditangkap maksud tulisannya. Mari kita lanjut lagi.

Pengusaha itu, memiliki usaha catering yang omsetnya sudah mencapai miliyaran rupiah. Gerbang Sakinah nama cateringnya. Pengusaha asal solo yang rendah hati itu menjamu aku dan atasan-ku dengan sangat baik. Kami hadir atas undangan sang pengusaha untuk sharing ilmu bisnis kepada orang-orang yang tinggal di daerahnya yang memiliki semangat bisnis yang besar. Bukan aku yang sharing ilmu bisnis itu, tapi atasanku, CEO Keke Busana yang sepertinya sudah tak asing lagi namanya di kalangan UKM, Rendy Saputra.

Ketika makan siang tiba, aku dijamu oleh pegawai Mas Tommy, sang pengusaha catering itu. Aku di suruh makan terlebih dahulu sebelum ikut mendampingi sambil merekam Kang Rendy yang akan membagikan ilmu bisnisnya.

Di sela-sela makan siang itu, kami berbincang tentang apapun yang terbesit dalam kepala. Ada banyak hal yang kami bahas dalam perbincangan. Dan aku, ada yang mengganjal dalam pikiran dan hatiku. Ini tentang pesantren yang aku lihat ketika mobil yang biasa mengantarkan aku ke sana-kemari selama di Kota solo berhenti tak jauh dari gerbang pesantren itu. Jaraknya sekitar empat rumah saja. Dan itu letak kantor Mas Tommy sang pengusaha.

Aku tanya kan saja hal yang mengganjal, daripada tak bisa tenang tidur malam. Toh, ini bukan pertanyaan yang sulit untuk mereka jawab dan bukan pertanyaan sensitif untuk dibahas. 

“Mas, itu di depan gerbang pesantren apa ya?” ujarku sambil menikmati hidangan makan siang
“Sampean ngga tau ngruki tah mas?” balas mas romy, salah satu pegawai mas Tommy.
“ndak tau mas” sambil aku mengingat apakah pernah dengar atau tidak.

“itu loh mas, ini itu pesantren teroris.” papar mas Romy menjelaskan.

Jujur aku tidak terlalu kaget. Karena aku tau betul, apa yang mas Romy katakan itu hanya ucapan sarkasnya atas cap masyarakat terhadap pesantren itu.

Yap, itu adalah pesantren milik Abu Bakar Ba’asyir. Sebuah cerita yang berkesan dalam hidupku bisa berkunjung ke lingkungan pesantren dan lingkungan Abu Bakar Ba’asyir itu. Yah, meski tidak berkunjung langsung ke dalam pesantren. Setidaknya, berada dengan jarak empat rumah dari gerbang pesantren itu sudah sangat berkesan dalam hatiku dan membuat jari-jari ku ingin menuliskan cerita tentang ini.

Aku tak mau ikut membahas tentang Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang dituduh sebagai otak Jemaah Islamiyah, sebuah kelompok katanya separatis militan islam yang terkoneksi dengan Al-Qaedah. Yang jelas, berada dalam lingkungan sekitar pesantren itu, tidak seperti itu nyatanya.

Ketika kami berbincang-bincang tentang pesantren teroris. Itu bukan suara hati kebencian kepada pesantren itu. Tapi hanya sebatas sarkas atas cap masyarakat saja. Toh ketika kami berbincang-bincang seperti itu, ada pula kepala keamanan pesantren yang turut serta berbincang bersama kami. Dan kami tertawa bersama. Tak ada yang tersinggung dan semua sudah biasa. Karena, memang tak ada paham yang berbahaya di sana, menurut mereka. Tak ada bom yang mereka rakit dan tak ada barang apapun yang akan menghancurkan atau menciptakan ketakutan kepada masyarakat Indonesia. 

Mereka semua hidup dengan kedamaian. Mereka semua hidup dengan kerendah hatian dan dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh islam.

Menurut penuturan beberapa orang yang aku tanya. Lingkungan sana memang sering diawasi oleh pihak yang mungkin dari badan intelejen negara. Dan bahkan, ketika aku tanya lebih dalam tentang apakah benar ini pesantren menghasilkan teroris, mas Romy menanggapinya dengan tenang, seolah sudah biasa dengan anggapan seperti itu. Dan menjawab dengan memberikan gambaran dari film laga futuristik pertama di Indonesia, 3; Alif Lam Mim. 

Dalam film itu, ada sebuah skenario yang diciptakan oleh orang-orang yang ingin menyingkirkan umat islam yang katanya radikal dan berbahaya. Seorang dari mereka menyamar sebagai pembeli dagangan dari kelompok yang mereka sebut berbahaya. Yaitu orang-orang yang berjubah dari sebuah pesantren. Perlahan, pesantren di habiskan dan tidak diberi tempat di bumi mana-pun. Liberal sudah berkuasa. Jubah dan atribut islam yang katanya berbahaya seperti jubah, celana cingkrang dan berjanggut telah dilarang, demi kenyamanan bersama.

Ceritanya, ada tiga orang berjubah dari sebuah pesantren mendatangi kota untuk bertransaksi hasil bumi di sebuah kafe. Mereka jadi pusat perhatian dan dicela habis-habiskan karena penampilan mereka begitu mengganggu dan membuat pengunjung kafe merasa tidak nyaman seolah terancam.

Seorang aparat negara yang masih berpihak kepada islam secara mendalam karena dulunya tinggal di lingkungan pesnatren pun mencoba menegangi. Memberikan pengertian kepada tiga orang berjubah itu untuk pergi demi kenyamanan bersama dengan bahasa yang santun. Lantas, orang berjubah itu pergi. Akan tetapi, tas mereka tertinggal dan tiba-tiba saja bom meledak keras menghancurkan seluruh isi kafe. 

Dan dalam penyelidikan di tempat kejadian perkara, ditemukan sebuah parfum yang dibuat oleh lingkungan pesantren, tempat di mana ketiga orang berjubah itu tinggal. Parfum itu, dijadikan alat bukti untuk menuduh pesantren salah satu pesantren tempat asal ketiga orang berjubah itu sebagai otak peledakan, meneror warga dan membunuh warga yang tidak bersalah.

Itulah singkat ceritanya. Bagaimana skenario untuk menuduh seseorang agar orang itu tersingkir tercipta. Membuat skenario seperti itu begitu mudah bukan? hanya saja untuk menjalankan skenario itu butuh orang ahli dan fasilitas yang lengkap dan super mahal. Maka, hanya orang-orang berduit sajalah yang bisa melakukannya. Dan yang pasti, orang berduit itu harus mempunyai kebencian yang sama dengan orang-orang yang ingin menjalankan skenario itu. Atau, bisa saja orang yang berduit itulah yang memang menginginkan skenario seperti itu dibuat dan dijalankan karena ketidak sukaannya kepada suatu kaum.

Melihat lingkungan pesantren Abu Bakar Ba’asyir, begitu tenang hati rasanya. Orang-orang di sana super duper ramah. Mungkin ditambah dengan sifat asli orang-orang jawa terutama solo yang begitu sopan dan santun. Meski banyak orang menganggapnya ndeso. 

Aku tidak bisa memastikan betul apakah lingkungan itu sesuai dengan apa yang dirasakan oleh aparat negara. Tempat yang sepertinya perlu diawasi karena di sanalah tempat dalang Jemaah Islamiyah yang terkoneksi dengan Al-Qaedah itu. Aku tak bisa bilang “tempat itu bukan sarang teroris” dan tidak bisa juga meneriakkan “tempat itu memang sarang teroris”. Aku hanya menuliskan apa yang aku lihat dan ketika aku berkunjung tidak begitu mendalam aku amati lingkungan itu.

Yang aku tau, mereka begitu sopan dalam menjamu tamu. Begitu perhatian dan melayani tamu dengan senang hati. Dan juga, selera humor mereka tentang teroris juga tinggi. Meski lingkungan mereka itu ada seorang tokoh islam yang dituduh sebagai otak pelaku teror. Senang hati berkumpul dan berbincang dengan mereka. Bahkan kepala keamanan pesantren Ustad Abu itu juga ada di sana mengikuti perbincangan kami, ikut makan dengan kami.

Tapi sayang, karena padatnya aktifitas, aku jadi lupa untuk berfoto di gerbang pesantren itu. 

Orang-orang yang ada dilingkungan itu kebanyakan wanitanya memakai cadar dan berjilbab lebar. Dan para prianya menggunakan celana cingkrang dan juga memelihara janggut. Tapi, begitu ramah sifat mereka. Ya seperti akhlak orang-orang yang tinggal di lingkungan pesantren lah. Kalau kalian pernah tinggal atau menetap di lingkungan pesantren, pasti tau bagaimana suasananya.

Dulu, di Medan aku pernah tinggal beberapa hari di lingkungan sekitar pesantren. Tempat salah satu sepupuku tinggal. Ya suasananya begitu nyaman. Semua orang saling sapa ketika berjumpa. Ramah dan enak diajak bicara. Tidak memiliki dua muka. Karena, mereka cukup dengan satu muka saja. Karena insyaallah mereka-mereka itu bersih hatinya dan selalu menjaga kebersihan hatinya.

Lagi-lagi, aku merasa beruntung bisa berkunjung ke daerah ngruki, cemani. Semakin kuat inginku menjadi seorang tokoh ditanah air ini. Jadi bisa jalan-jalan mengelilingi banyak tempat di negeri ini. Bertemu dan berbincang dengan berbagai macam orang. Bukan hanya sekedar liburan atau segala macamnya, tapi inilah jalan spiritual. Perjalanan yang bisa membuka mata dan menambah wawasanku tentang negeriku.

Ngruki, suatu saat aku akan berkunjung lagi. Bertanya-tanya lebih dalam dan bercanda dengan leluasa mengenai opini masyarakat yang beranggapan orang-orang seperti kalian itu adalah orang yang patut dicurigai karena menganut paham yang berbahaya untuk negeri ini.

7.25pm, 14 Des 2016
@ The Angkringan Cafe, Bogor.

Untuk berkomunikasi denganku, bisa follow akun twitter @dayatpiliang atau akun instagram @dayat.piliang

Sumber gambar: allthefreestock / stocksnap.io



You Might Also Like

0 komentar

Silahkan berikan komentarmu

Powered by Blogger.