Jalan Cilebut Raya Penuh Kenangan Bahagia

Sementara pake gambar ini aja dulu, ntar jalan cilebut raya menyusul Rindu, wanita yang sampai saat ini menguasai relung hati-ku. S...

Sementara pake gambar ini aja dulu, ntar jalan cilebut raya menyusul


Rindu, wanita yang sampai saat ini menguasai relung hati-ku. Setelah Rabb-ku tentunya.

Maaf saja bila disalah satu postingan ada sebuah kata gila yang kubuat tanpa melibatkan Tuhan di dalamnya. Bukan karena tak teringat melibatkan Tuhan. Tapi aku rasa itu tidak terlalu perlu. Karena kita sama-sama tau, Tuhan selalu terliba dalam segala hal urusan kita. Dari hal yang besar hingga yang terkecil sekali-pun.

Jadi, mari kita lanjutkan.

Jam pulang kantor-pun tiba. Aku masih menyelesaikan tulisan-ku yang sudah aku post di blog ini sebelumnya. Rindu juga masih sibuk dengan kegiatannya. Entah apa. Mungkin sedang ber-chatting ria dengan kekasihnya dengan perasaan yang berbunga-bunga teramat bahagia. Sedang aku? Menahan luka yang aku juga menikmati rasanya. Keperihan nan indah. Hanya Rindu yang bisa membuat perasaan-ku begini. Mungkin karena sudah berulang kali tersakiti. Jadi, luka karena cinta yang tak terbalaskan dari Rindu aku nikmati dengan senang hati.

Disaat aku beberes bersiap pulang, Rindu bertanya, ‘dek, ntar pulang lewat mana?’ sambil beberes juga dia melayangkan pertanyaan basa-basi itu yang intinya ingin nebeng pulang bersama. Aku menyetujuinya. Meski dia berkata ‘antarkan aku sampai jalanan itu saja’. Ini bukan gombal, sampai kemana-pun (selama aku sanggup) aku akan mengantarkan Rindu ke tempat yang dia mau. Tapi sayang, sayang, sayang, ya aku memang sayang sama dia. Eh, hehehe

Singkat cerita, kami selesai beberes bersama. Aku siap lebih dulu sih. Dan menunggu dia berdandan. Sepertinya dia mau menghadiri sebuah acara. Entah apa acaranya, sayang, iya aku memang sayang sama dia. Hehe. Maksudnya sayang, aku tak bertanya padanya. Aku menunggu dia berdandan, lama. Mungkin jika aku ingin jogging ke planet pluto dan balik lagi ke bumi, dia belum selesai dandan juga. Tapi, ada tapinya. Setelah dandan, Rindu menjadi wanita yang baru. Cantiknya nambah dan cintaku padanya semakun bertumbuh.

Kami keluar dari kantor bersamaan. Aku mengambil motor-ku di parkiran kantor. Menaikinya dan menunggu Rindu menaiki jok bagian belakang yang jarang sekali membonceng orang. Hanya membonceng semilir angin yang terkadang menghinggap di jok belakang, #apasih. 

Aku mulai mengendarai motor-ku ke lokasi yang dia inginkan. Ditepi jalan. Ia ingin aku berhenti ditepi jalan. Aku bertanya, ‘sebenarnya mau kemana? Cilebut?’, dia menjawab ‘engga, aku mau ke lenteng agung’ dia sedikit tak enak hati tuk jawab pengen ke stasiun cilebut. Mungkin dia tau kalo dia bilang mau ke stasiun cilebut maka aku langsung mengantarkannya ke sana. Aku balas lagi jawabannya dengan pertanyaan, ‘iya ke lenteng agungnya dari stasiun cilebut kan?’ dan akhirnya dia mengakui.

Aku mengarahkan motor-ku ke jalan raya cilebut. Jalan yang penuh dengan kenangan. Jalanan yang selalu aku rindukan. Tentunya ketika berdua dengannya menempuh perjalanan mengantarkan Rindu ke stasiun itu.

Sebenarnya. Dia ingin aku menurunkan ditepi jalan baru. Kemudian dia nyebrang dan menanti angkot menuju stasiun cilebut. Tapi, aku yang sudah mengira dia menuju stasiun cilebut pun inisiatif melanjutkan perjalanan ke sana. Dan semakin yakin karena dia mengakui ingin ke sana. Ku pacu motor-ku, tidak cepat atau lambat. Sedang-sedang saja. Dibawa santai saja. Aku ingin lebih lama bersamanya. Berdua di atas motor menyusuri jalan raya cilebut tanpa ngebut.

Sepanjang perjalanan, ada banyak pembahasan yang kami bahas. Salah satunya tentang menjaga jarak. Aku ungkapkan saja bahwa satu sisi diriku tidak menerima. Tapi sisi aku yang lain. Sisi yang menjadi pusat kendali. Mencoba menerima apa yang terjadi dan menghormati keputusannya.

Aku berkata, ‘ya sudah kalau begitu. Aku mencoba menerima keputusan itu. Mungkin satu sisi-ku yang tak menerima itu karena rasa cemburu. Dan rasa cemburu itu membuat dalil-dalil islam yang aku ketahui keluar tuk mematahkan keputusan-mu. Padahal, kalo keputusan ini ga diungkapkan, dalil-dalil yang aku ketahui juga akan aku abaikan.’ Begitulah aku ungkapkan padanya dengan perasaan yang sulit dijelaskan rasanya.

Begitulah kita. Kita selalu mengeluarkan ilmu yang kita sendiri tak mengamalkannya dah tak melaksanakannya hanya untuk kepentingan diri sendiri, tuk mematahkan perkataan seseorang. Semua demi kepentingan pribadi. Merasa tak terima dengan apa yang terjadi dan merasakan ketidakadilan yang menyakiti hati. Padahal, blia seseorang itu tak mengemukakan pernyataan yang membuat kita merasa tak terima. Kita juga tak pernah mengamalkan ilmu atau dalil yang kita keluarkan ketika mencoba mematahkan pendapat atau argumeen seseorang.

Banyak perbincangan sepanjang jalan raya cilebut. Dan sepanjang jalan itu, aku merasakan bahagia yang tak terkira. Meski ada perbincangan-perbincangan yang membuat hati sedikit terluka. Tapi tak mengapa, karena rasa bahagia lebh besar terasa.
Ada satu waktu di mana aku berkata padanya, ‘udah lama ya..’ dia bertanya ‘lama apanya?’ dan aku menjawab ‘seperti ini, berdua diatas motor’. Entah apa reaksinya di belakang. Entah senang atau merasa jijik. Ya hanya dia, malaikat dan Tuhan yang tau. Yang jelas, aku merasa bahagia saat itu.

Tak terasa, sampai juga di stasiun cilebut. Jalanan macet di dekat stasiun. Dia berkata ‘sampai sini aja dek, kamu muter balik aja di sini’. Tak terlalu jauh dari stasiun. Aku menyetujui usulnya. Sebenarnya ingin mengantarkan sampai tepat ke depan pintu gerbang stasiun. Tapi aku menahan itu, tak mau membuatnya kesal. Ya, aku mengantarkannya sampai stasiun cilebut juga bukan permintaannya, tapi inisiatif aku membawanya. Pasti sebal banget dia jika aku kembali tak menuruti perkataannya yang satu ini. Maka aku setujui dan aku muter balik menuju daerah warung jambu.

Sepanjang jalan arah pulang, hujan rintik-rintik kembali turun. Hari ini entah kenapa hujan terus mengguyur kota Bogor. Dan sore ini, sepulang aku mengantarkan wanita yang aku cinta, rintik-rintik hujan kembali berjatuhan. Aku rasa, langit-pun ikut merasakan kesedihan dalam hati karena cinta-ku yang tulus tidak terbalaskan.

Aku memacu motor dengan kecepatan 80km/jam. Menuju suatu tempat tuk menghibur diri yang sudah aku rencanakan sebelumnya. Dan mengunjungi klinik tuk mengobati batuk yang tak berhenti sudah beberapa hari.
Rindu? Mungkin dia telah menaiki keretanya. Menuju tempat yang ia tuju. dan berbahagia disana. Sekarang, aku akan lebih jarang bertanya padanya. Mencoba menghormati keputusannya tuk menjaga jarak demi kelancaran hubungannya dengan kekasih yang menjadi cintanya.

Ah sudahlah.

Jalan cilebut raya, selalu membuat-ku bahagia setiap melewatinya. Meski ada dan tiada dirinya. Karena, ku kan kembali mengingat kenangan dengannya ketika melewati jalan cilebut raya yang selalu membuat-ku bahagia karena banyak menyimpan cerita.

Ah, kalimat ‘kau harus melepaskannya’ benar-benar menggangu kepala.

Iya, iya, aku akan coba tuk melepaskannya. Semoga aku bisa.


Tapi, tak salah kan mencoba mengenang kembali potongan cerita bahagia saat bersamanya melewati jalanan cilebut raya? hehehehehehehehehehheheheheheheheehehhehehehehehehehehehhehe

11.36 WIB / 4 Oktober 2016
@ The Angkringan Caffee, Bogor Kota Hujan.

You Might Also Like

0 komentar

Silahkan berikan komentarmu

Powered by Blogger.