Keponakanku Menagih Janji

Hari ini perasaan kangen dengan seseorang muncul, seseorang yang sedang aku rindukan bukanlah kekasih, bukan juga orang tua -kalau oran...



Hari ini perasaan kangen dengan seseorang muncul, seseorang yang sedang aku rindukan bukanlah kekasih, bukan juga orang tua -kalau orang tua sudah pasti. Tapi ini benar berbeda, jauh dari dugaan aku bisa merindukan seseorang. Dialah bocah kecil berumur empat tahun. Namanya Muhammad Abdul Razak Az-Zhuhri, bocah itu lahir tepat pada hari ibu, masuk waktu dzuhur. Sebuah nilai plus baginya, setiap dia merayakan ulang tahun tentu bertepatan pada hari ibu, semoga saja bocah kecil itu tumbuh menjadi anak yang selalu mengingat orang tuanya. Bocah kecil itu tak lain adalah keponakanku sendiri, aku dan ibunya berstatus sepupu.

Pada saat hari kelahiran bocah kecil yang biasa di panggil Oja itu, akulah yang sibuk kesana kemari dari rumah mengambil sesuatu dan mengantarkan barang yang diperlukan kerumah bersalin yang tak jauh dari rumah. Aku menunggu oja kecil dengan harap-harap cemas. Ada tiga kemungkinan yang mungkin terjadi, kemungkinan pertama keduanya selamat-inilah yang sangat diharapkan, kemungkinan kedua ibunya selamat tapi bayinya tidak, dan kemungkinan ketiga adalah bayinya selamat tapi ibunya tidak.

Bau rumah sakit terasa sekali memasuki hidungku, siapapun pasti tau bau itu, bau yang tak begitu nyaman untuk dihirup. Bau yang timbul dari campuran alkohol, obat-obatan serta mungkin saja bau badan para pasien yang menginap. Aku menunggu diluar seorang diri, bibi dan suami sepupuku berada didalam ruang bersalin, beberapa menit kemudian terdengar jeritan tangisan seorang bayi. Saat seperti ini banyak orang yang langsung bahagia, tapi aku tidak, dalam hati aku bertanya apakah sepupuku baik-baik saja? Sangat besar resiko yang dihadapi seorang ibu diruang bersalin. Dari peristiwa itu aku belajar betapa besar perjuangan seorang ibu melahirkan anak mereka. Jika saja anak yang mereka lahirkan jadi anak durhaka, bayangkan betapa sakitnya hati seorang ibu, mereka melahirkan anak dengan taruhan nyawa, tapi yang diperjuangkan semuanya sia-sia melihat anaknya durhaka.

Oja tumbuh dengan baik. Aku sering berkunjung kekontrakan sepupu, bermaksud melihat anak kecil yang badannya begitu harum, katanya sih harum anak kecil itu berasal dari surga, begitu tentram saat menciumi dan menghirup aroma badannya. Tak jarang juga aku tidur berdampingan dengan si kecil itu, hingga suatu hari aku terpaksa berpisah untuk waktu yang cukup lama dengan keponakan kecilku itu. Aku harus melanjutkan sekolahku kepulau bali. Ini bukan keinginanku, tapi keinginan kakak sepupuku yang lainnya. Awalnya aku menolak, dengan paksa sepupuku memintaku untuk melanjutkan sekolah dibali, demi kebaikanku-katanya.

Tiga tahun berlalu. Aku telah menyelesaikan Sekolah Mengah Atas di pulau yang di impikan banyak orang untuk berlibur menikmati sensasi pantai yang sudah dikunjungi banyak orang dari berbagai dunia. Jadwal keberangkatan pulang ke kota Medan-tempat aku lahir, telah disusun dengan sebaik mungkin oleh salah seorang sepupuku yang lainnya. Aku menanti hari itu, hari dimana aku akan kembali pulang, kembali melihat tempat kelahiran, kembali melihat orang-orang yang aku sayangi, kembali melihat orang yang pernah hadir dalam kisah hidupku tiga tahun lalu-yang membuat luka, yangmembuat tawa, yang membuat bahagia, yang membuat kisah-kisah tak terduga tiga tahun yang lalu aku akan bertemu dengan mereka semua.

Singkat cerita saja, aku sudah di Medan beberapa hari, akupun menyempatkan diri mampir ke rumah sepupuku yang sudah melahirkan bocah kecil bernama oja, aku ingin melihat bagaimana kondisinya sekarang-biasanya hanya berbicara melalui jaringan telepon. Saatku berkunjung, seluruh orang rumah menyambut kedatanganku, bayi yang dulu berbadan mungil kini tumbuh dengan baik-usianya empat tahun. Sepertinya bocah kecil itu benar-benar senang dengan kehadiranku dirumah itu, anak kecil memang selalu berada dipilihan yang tepat. Aku bermain dengannya, menghabiskan banyak waktu yang menurut sebagian orang ‘percuma’. Bahagia, bermain dengan anak kecil sungguh bahagia, tapi aku sedikit gugup untuk berinteraksi dengan anak kecil, padahal aku memiliki banyak keponakan.
Sampailah satu waktu dimana aku memutuskan untuk hijrah ke kota Bandung. Benar, perpisahan itu terjadi lagi setelah kurang lebih hampir dua bulan aku berdiam di kota kelahiran. Sebelum itu aku banyak menghabiskan waktu dengan bocah kecil itu. Dia bahkan selalu menanti kehadiranku kerumahnya untuk bermain bersama. Dirumah itu tak hanya Oja dan orang tuanya saja, ada juga bibi, paman dan keluarga dari suami sepupuku-satu antara mereka juga memiliki anak gadis nan lucu bernama Rama. Sebelum keberangkatanku, gadis itu berulang tahun, tentu aku harus memberikan hadiah kepadanya karena telah berhasil bertahan hidup sampai usianya kini-sama dengan Oja. Hadiah yang kuberikan sangat sederhana, hanya sebuah boneka beruang berwarna pink, tak tau barang apa yang harus aku berikan-untuk masalah ini aku kurang peka.

Saat aku memberikan boneka beruang berwarna pink itu, ternyata Oja cemburu, bocah kecil itu belum paham dengan ulang tahun. Oja mengira aku pilih kasih, lebih sayang dengan gadis kecil itu. Tangispun pecah, air mata mengalir dari mata indahnya. Aku yang tak tega terpaksa menjanjikan sesuatu padanya pada hari itu, entahlah janji itu bisa aku tepati atau tidak, yang penting aku harus menghentikan tangis yang bersumber dari hati cemburunya. Aku menjanjikan akan memberi hadiah untuknya saat dia ulang tahun. Sesaat setelah aku mengucapkan janji itu, dia berdiam sebentar, mencoba menyerap kata-kata yang aku ucapkan. Tak lama dia merespon dengan gembira, dia mengatakan padaku untuk memberikan boneka ulat-padahal dia cowo. Aku tak mengerti kenapa dia ingin boneka, bukankah robot lebih menarik? Tetap saja dia menolak dengan hadiah yang aku tawarkan, tetap ingin boneka ulat. Akupun berjanji padanya akan membelikan boneka ulat-padahal aku akan pergi meninggalkannya untuk waktu yang akupun tak tau kapan akan kembali.

Tibalah hari dimana aku akan berangkat menuju kota yang dipimpin Ridwan Kamil. Karena rumah sepupuku lebih dekat dengan bandara, maka aku memutuskan untuk menginap disana sehari sebelum keberangkatan. Oja mengerti bahwa aku akan pergi, dia tak menangis, karena dia tak tau kalau aku akan pergi jauh dari kota yang dia tinggali. Tujuan aku hijrah hanya untuk mengadu nasib, karena aku melihat kota Medan tidak cocok untuk orang sepertiku. Bagaimana bisa, aku orang yang culun, tak cocok untuk hidup dikota Medan yang keras. Bandung lebih cocok-orangnya ramah.

Beberapa bulan di kota Bandung, akhirnya tiba hari ulang tahun bocah kecil itu. Aku ingat, sebelumnya aku selalu memikirkan hari ini-kelahirannya. Aku memikirkan sesuatu-bukan hadiah apa. Aku sedang memikirkan apa yang akan kukatakan padanya. Aku telah berjanji untuk membelikan boneka ulat. Tapi, kini aku sepertinya gagal menjadi paman yang menepati janji. Aku seperti paman kebanyakan, selalu berjanji pada anak kecil-lalu mengingkarinya. Hari-hari sebelumnya dia sering menelponku, memaksaku untuk datang kerumahnya-dia merasa kehilangan, aku sudah lama tak berkunjung kerumahnya, bermain dengannya. Dia sangat amat merindukanku, sampai-sampai membentakku supaya datang kerumahnya-dia belum mengerti kalau aku pergi ketempat yang sangat jauh darinya. Setelah membentak memaksa, dia menangis, menyiksa dirinya karena aku tak kunjung datang, mengancam memukul kepalanya sendiri jika aku tetap tak datang. Sedih, hancur dan terganggu dengan seluruh ucapannya. Aku memutuskan untuk segera menutup telepon, tak sanggup untuk berkata.

Pada hari ulang tahunnya. Sebuah nama memanggilku, salmiah-itu nama sepupuku. Aku mengangkat dengan ragu, karena aku harus mengakui tak bisa menepati janji pada anaknya. Dia mengerti, sangat mengerti-tapi bocah itu tidak. Pembicaraanku dengan bocah kecil itu berlangsung alot, tetap memaksaku untuk hadir kerumahnya. Gila, bisa gila aku kalau seperti ini. Aku sudah menjelaskan padanya kalau aku berada sangat jauh darinya, tak bisa pulang-tak ada biaya lebih. Tak lama berbicara dengannya, sepupuku yang juga ibu dari bocah itu mengambil alih pembicaraan. Aku meminta maaf karena tak bisa menepati janji, “Tolong jelaskan padanya, kak. Aku tak bisa menepati janji, kondisi tak memungkinkan” aku menjelaskan dengan perlahan. “iya kakak tau, pikirkan diri sendiri dulu, ini urusan kecil, tak usah terlalu dipikirkan. Lain waktu mungkin bisa, sudah dulu ya” sepupuku menutup telepon, berakhirlah pembicaraan, tapi tak berakhir pikiranku yang gagal menjadi paman. Huh, kondisi sulit, janji terabaikan, aku gagal, maafkan aku.


Hingga kinipun kondisi masih tak memungkinkan untuk memberinya hadiah. Semoga nasibku segera berubah. Dan aku bisa menepati janjiku-walau sangat sangat telat. Aku tidak ingin menjadi paman yang gagal. Aku ingin janji yang kuucapkan padanya-meski saat itu tak yakin dan terpaksa, tetap saja itu janji- aku akan segera menepatinya walaupun waktunya telat sangat lama. Semoga aku tetap hidup sampai aku bisa menepati janji itu.

You Might Also Like

0 komentar

Silahkan berikan komentarmu

Powered by Blogger.