Keponakanku Menagih Janji
20:31Hari ini perasaan kangen dengan seseorang muncul, seseorang yang sedang aku rindukan bukanlah kekasih, bukan juga orang tua -kalau orang tua sudah pasti. Tapi ini benar berbeda, jauh dari dugaan aku bisa merindukan seseorang. Dialah bocah kecil berumur empat tahun. Namanya Muhammad Abdul Razak Az-Zhuhri, bocah itu lahir tepat pada hari ibu, masuk waktu dzuhur. Sebuah nilai plus baginya, setiap dia merayakan ulang tahun tentu bertepatan pada hari ibu, semoga saja bocah kecil itu tumbuh menjadi anak yang selalu mengingat orang tuanya. Bocah kecil itu tak lain adalah keponakanku sendiri, aku dan ibunya berstatus sepupu.
Pada saat hari kelahiran bocah kecil yang biasa di panggil Oja itu, akulah yang sibuk kesana kemari
dari rumah mengambil sesuatu dan mengantarkan barang yang diperlukan kerumah
bersalin yang tak jauh dari rumah. Aku menunggu oja kecil dengan harap-harap cemas. Ada tiga kemungkinan yang
mungkin terjadi, kemungkinan pertama keduanya selamat-inilah yang sangat
diharapkan, kemungkinan kedua ibunya selamat tapi bayinya tidak, dan
kemungkinan ketiga adalah bayinya selamat tapi ibunya tidak.
Bau rumah sakit terasa sekali memasuki hidungku, siapapun
pasti tau bau itu, bau yang tak begitu nyaman untuk dihirup. Bau yang timbul
dari campuran alkohol, obat-obatan serta mungkin saja bau badan para pasien
yang menginap. Aku menunggu diluar seorang diri, bibi dan suami sepupuku berada
didalam ruang bersalin, beberapa menit kemudian terdengar jeritan tangisan
seorang bayi. Saat seperti ini banyak orang yang langsung bahagia, tapi aku
tidak, dalam hati aku bertanya apakah
sepupuku baik-baik saja? Sangat besar resiko yang dihadapi seorang ibu
diruang bersalin. Dari peristiwa itu aku belajar betapa besar perjuangan
seorang ibu melahirkan anak mereka. Jika saja anak yang mereka lahirkan jadi
anak durhaka, bayangkan betapa sakitnya hati seorang ibu, mereka melahirkan
anak dengan taruhan nyawa, tapi yang diperjuangkan semuanya sia-sia melihat
anaknya durhaka.
Oja tumbuh dengan baik. Aku sering berkunjung kekontrakan
sepupu, bermaksud melihat anak kecil yang badannya begitu harum, katanya sih
harum anak kecil itu berasal dari surga, begitu tentram saat menciumi dan
menghirup aroma badannya. Tak jarang juga aku tidur berdampingan dengan si
kecil itu, hingga suatu hari aku terpaksa berpisah untuk waktu yang cukup lama
dengan keponakan kecilku itu. Aku harus melanjutkan sekolahku kepulau bali. Ini
bukan keinginanku, tapi keinginan kakak sepupuku yang lainnya. Awalnya aku
menolak, dengan paksa sepupuku memintaku untuk melanjutkan sekolah dibali, demi
kebaikanku-katanya.
Tiga tahun berlalu. Aku telah menyelesaikan Sekolah Mengah
Atas di pulau yang di impikan banyak orang untuk berlibur menikmati sensasi
pantai yang sudah dikunjungi banyak orang dari berbagai dunia. Jadwal
keberangkatan pulang ke kota Medan-tempat aku lahir, telah disusun dengan
sebaik mungkin oleh salah seorang sepupuku yang lainnya. Aku menanti hari itu,
hari dimana aku akan kembali pulang, kembali melihat tempat kelahiran, kembali
melihat orang-orang yang aku sayangi, kembali melihat orang yang pernah hadir
dalam kisah hidupku tiga tahun lalu-yang membuat luka, yangmembuat tawa, yang
membuat bahagia, yang membuat kisah-kisah tak terduga tiga tahun yang lalu aku
akan bertemu dengan mereka semua.
Singkat cerita saja, aku sudah di Medan beberapa hari,
akupun menyempatkan diri mampir ke rumah sepupuku yang sudah melahirkan bocah
kecil bernama oja, aku ingin melihat
bagaimana kondisinya sekarang-biasanya hanya berbicara melalui jaringan
telepon. Saatku berkunjung, seluruh orang rumah menyambut kedatanganku, bayi
yang dulu berbadan mungil kini tumbuh dengan baik-usianya empat tahun. Sepertinya
bocah kecil itu benar-benar senang dengan kehadiranku dirumah itu, anak kecil
memang selalu berada dipilihan yang tepat. Aku bermain dengannya, menghabiskan
banyak waktu yang menurut sebagian orang ‘percuma’. Bahagia, bermain dengan
anak kecil sungguh bahagia, tapi aku sedikit gugup untuk berinteraksi dengan
anak kecil, padahal aku memiliki banyak keponakan.
Sampailah satu waktu dimana aku memutuskan untuk hijrah ke
kota Bandung. Benar, perpisahan itu terjadi lagi setelah kurang lebih hampir
dua bulan aku berdiam di kota kelahiran. Sebelum itu aku banyak menghabiskan
waktu dengan bocah kecil itu. Dia bahkan selalu menanti kehadiranku kerumahnya
untuk bermain bersama. Dirumah itu tak hanya Oja dan orang tuanya saja, ada
juga bibi, paman dan keluarga dari suami sepupuku-satu antara mereka juga
memiliki anak gadis nan lucu bernama Rama.
Sebelum keberangkatanku, gadis itu berulang tahun, tentu aku harus
memberikan hadiah kepadanya karena telah berhasil bertahan hidup sampai usianya
kini-sama dengan Oja. Hadiah yang kuberikan sangat sederhana, hanya sebuah
boneka beruang berwarna pink, tak tau barang apa yang harus aku berikan-untuk
masalah ini aku kurang peka.
Saat aku memberikan boneka beruang berwarna pink itu,
ternyata Oja cemburu, bocah kecil itu belum paham dengan ulang tahun. Oja
mengira aku pilih kasih, lebih sayang dengan gadis kecil itu. Tangispun pecah,
air mata mengalir dari mata indahnya. Aku yang tak tega terpaksa menjanjikan
sesuatu padanya pada hari itu, entahlah janji itu bisa aku tepati atau tidak,
yang penting aku harus menghentikan tangis yang bersumber dari hati cemburunya.
Aku menjanjikan akan memberi hadiah untuknya saat dia ulang tahun. Sesaat
setelah aku mengucapkan janji itu, dia berdiam sebentar, mencoba menyerap
kata-kata yang aku ucapkan. Tak lama dia merespon dengan gembira, dia
mengatakan padaku untuk memberikan boneka ulat-padahal dia cowo. Aku tak
mengerti kenapa dia ingin boneka, bukankah robot lebih menarik? Tetap saja dia
menolak dengan hadiah yang aku tawarkan, tetap ingin boneka ulat. Akupun
berjanji padanya akan membelikan boneka ulat-padahal aku akan pergi
meninggalkannya untuk waktu yang akupun tak tau kapan akan kembali.
Tibalah hari dimana aku akan berangkat menuju kota yang
dipimpin Ridwan Kamil. Karena rumah sepupuku lebih dekat dengan bandara, maka
aku memutuskan untuk menginap disana sehari sebelum keberangkatan. Oja mengerti
bahwa aku akan pergi, dia tak menangis, karena dia tak tau kalau aku akan pergi
jauh dari kota yang dia tinggali. Tujuan aku hijrah hanya untuk mengadu nasib,
karena aku melihat kota Medan tidak cocok untuk orang sepertiku. Bagaimana
bisa, aku orang yang culun, tak cocok untuk hidup dikota Medan yang keras.
Bandung lebih cocok-orangnya ramah.
Beberapa bulan di kota Bandung, akhirnya tiba hari ulang
tahun bocah kecil itu. Aku ingat, sebelumnya aku selalu memikirkan hari
ini-kelahirannya. Aku memikirkan sesuatu-bukan hadiah apa. Aku sedang
memikirkan apa yang akan kukatakan padanya. Aku telah berjanji untuk membelikan
boneka ulat. Tapi, kini aku sepertinya gagal menjadi paman yang menepati janji.
Aku seperti paman kebanyakan, selalu berjanji pada anak kecil-lalu
mengingkarinya. Hari-hari sebelumnya dia sering menelponku, memaksaku untuk
datang kerumahnya-dia merasa kehilangan, aku sudah lama tak berkunjung
kerumahnya, bermain dengannya. Dia sangat amat merindukanku, sampai-sampai
membentakku supaya datang kerumahnya-dia belum mengerti kalau aku pergi
ketempat yang sangat jauh darinya. Setelah membentak memaksa, dia menangis,
menyiksa dirinya karena aku tak kunjung datang, mengancam memukul kepalanya
sendiri jika aku tetap tak datang. Sedih, hancur dan terganggu dengan seluruh
ucapannya. Aku memutuskan untuk segera menutup telepon, tak sanggup untuk
berkata.
Pada hari ulang tahunnya. Sebuah nama memanggilku, salmiah-itu nama sepupuku. Aku
mengangkat dengan ragu, karena aku harus mengakui tak bisa menepati janji pada
anaknya. Dia mengerti, sangat mengerti-tapi bocah itu tidak. Pembicaraanku
dengan bocah kecil itu berlangsung alot, tetap memaksaku untuk hadir
kerumahnya. Gila, bisa gila aku kalau
seperti ini. Aku sudah menjelaskan padanya kalau aku berada sangat jauh
darinya, tak bisa pulang-tak ada biaya lebih. Tak lama berbicara dengannya,
sepupuku yang juga ibu dari bocah itu mengambil alih pembicaraan. Aku meminta
maaf karena tak bisa menepati janji, “Tolong
jelaskan padanya, kak. Aku tak bisa menepati janji, kondisi tak memungkinkan” aku
menjelaskan dengan perlahan. “iya kakak
tau, pikirkan diri sendiri dulu, ini urusan kecil, tak usah terlalu dipikirkan.
Lain waktu mungkin bisa, sudah dulu ya” sepupuku menutup telepon,
berakhirlah pembicaraan, tapi tak berakhir pikiranku yang gagal menjadi paman. Huh, kondisi sulit, janji terabaikan, aku
gagal, maafkan aku.
Hingga kinipun kondisi masih tak memungkinkan untuk
memberinya hadiah. Semoga nasibku segera berubah. Dan aku bisa menepati
janjiku-walau sangat sangat telat. Aku tidak ingin menjadi paman yang gagal.
Aku ingin janji yang kuucapkan padanya-meski saat itu tak yakin dan terpaksa,
tetap saja itu janji- aku akan segera menepatinya walaupun waktunya telat
sangat lama. Semoga aku tetap hidup sampai aku bisa menepati janji itu.
0 komentar
Silahkan berikan komentarmu