Keberuntungan Memiliki Masa Lalu Kelam (Part 1)
09:14Aku berasal dari keluarga yang broken home, mungkin diantara para pembaca sudah mengetahui kondisi hidupku bagaimana, atau juga mungkin sudah aku tulis di blog ini, entah kenapa tiba-tiba saja ada sebuah bisikan yang memaksaku untuk menceritakan ini kembali.
Hidup diperantauan sudah pasti banyak yang bertanya-tanya tentang hidupku, seperti tinggal dimana, tinggal sama siapa, rindu sama keluarga atau tidak, dan pertanyaan umum lainnya yang sudah pasti akan di tanyakan kepada orang-orang yang hidup di perantauan.
Saat orang-orang bertanya tentang hal itu, mau tak mau aku harus menjawab jujur tentang kondisi keluargaku, mengapa aku lebih milih untuk merantau, mengapa lebih memilih hidup sendirian di kota orang, apa tujuan untuk merantau. Semua itu harus aku jawab dengan sejujur-jujurnya, aku ceritakan kepada mereka yang bertanya tentang kondisi keluargaku, entah kenapa ekspresi mereka berubah ketika aku menjelaskan, yang awalnya mereka memasang wajah yang ingin tahu tentang hidupku berubah menjadi wajah merasa bersalah, aku juga heran kenapa bisa berubah begitu, kenapa mereka seolah-olah merasa bersalah saat aku menceritakan kondisi hidupku ? bahkan diantara mereka ada juga yang mengatakan 'maaf', kenapa harus meminta maaf ? itu kan bukan kesalahan mereka yang membuat hidupku begini, kenapa harus memasang ekspresi merasa bersalah ? mereka orang yang baru mengenalku, tak ada masalahku dengan mereka dalam masa laluku, jadi lebih baik tak perlu meminta maaf.
Aku tidak tau kenapa orang tuaku tidak penyayang, ini hanya berlaku untuk diriku saja, saudara kandungku yang lainnya amat sangat di sayang, sampai saat ini aku tak tau jelas alasannya. Sejak umur sebelas bulan aku di tinggalkan oleh kedua orang tuaku yang memilih untuk balik ke padang dan kemudian merantau ke ibu kota jakarta. Usia sekecil itu aku di asuh oleh bibiku, aku sangat bersyukur kepada Allah yang telah mengutus bibi yang amat sangat baik mau mengasuh diriku, selama aku di asuh oleh bibi, paman, nenek dan sepupuku, hidupku amat bahagia, aku tak pernah merasakan kesedihan mendalam selama hidupku, selalu ada canda dan tawa ketika aku hidup dengan mereka, aku tak membutuhkan cinta dan kasih sayang orang tua kandungku lagi, karena di dalam rumah yang tidak terlalu luas itu aku sudah mendapat cinta dan kasih sayang dari orang-orang yang amat sangat menyayangi diriku.
Selama aku hidup saat itu, aku tak pernah terlalu memikirkan orang tua kandungku, karena saat itu juga masih kecil dan juga aku tak membutuhkan apapun lagi dari orang tua kandungku, karena semua yang kubutuhkan sudah di berikan oleh bibi, paman, nenek dan sepupu-sepupu yang lebih tua dariku. Benar sekali, untuk para orang tua yang memiliki anak, sebaiknya berilah cinta dan kasih sayang kalian kepada anak-anak, jangan sampai mereka mencari orang lain untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang itu, jika anak mencari tempat lain untuk mencari itu, maka yang akan terjadi kalian sebagai orang tua tak akan pernah di anggap oleh anak, yang ada anak akan lebih sering memberontak.
Hidup penuh dengan kebahagiaan, itulah yang aku dapatkan, namun semua itu berubah ketika ibu kandungku balik kembali ke rumah kami yang kecil itu, sebelum balik aku sempat mendengar kabar perceraian ibu dengan ayahku di jakarta, karena itulah ibu kandungku balik kerumah kami yang kecil itu, lokasi rumah itu terletak di sebuah daerah yang banyak mencetak sopir angkot dan pengacara, pasti para pembaca sudah tau dimana itu, kota medan metropolitan.
Datangnya ibu dan saudara kandungku membuat semua berubah, awalnya aku merasa senang ibu dan saudara kandungku akan tinggal di rumah kecil kami, aku membayangkan akan memiliki lebih banyak teman dirumah kecil itu, ternyata semua salah, keadaan berubah, yang awalnya banyak canda dan tawa, perlahan itu semua menghilang dari rumah itu, lebih banyak pertengkaran yang terjadi di rumah itu, pertengkaran paling sering terjadi karena diriku, iya karena diriku, bukan berarti aku membuat ulah, ini karena aku seperti di anak tirikan oleh ibu kandungku, atau bahasa enaknya sih pilih kasih, begitulah, amat banyak pertengkaran yang terjadi di rumah itu, yang aku ingat semua pertengkaran itu terjadi karena hal yang sepele.
Pertengkaran demi pertengkaran terjadi, bahkan pernah sampai melibatkan sebuah pisau tajam yang siap kapan saja menikmati darah segar dari salah satu anggota keluargaku, beruntung saja itu tak terjadi, pertengkaran yang melibatkan pisau tajam itu terjadi hanya karena aku tak di berikan uang jajan, karena itu hatiku merasa sakit, yang lainnya di beri, aku tidak di beri, mau tak mau aku menceritakan ini kepada sepupuku karena saat itu hanya ada sepupuku yang tinggal di situ, yang lainnya sedang keluar, aku menceritakan apa yang terjadi, awalnya aku tak ingin menceritakannya, aku hanya meminta uang jajan darinya, iapun bertanya-tanya kenapa meminta uang jajan padahal di rumah itu ada ibu kandungku, dengan terpaksa aku mencertakan, sontak saja itu menaikkan emosinya, karena memang sepupuku yang satu ini gampang sekali emosi, padahal sepupuku ini wanita, apa mungkin karena dia lagi dapet setiap saat ya ? makanya gampang emosi, hehe
Singkat cerita, banyaknya pertengkaran yang terjadi karena masalahku, aku memutuskan untuk tak menceritakan lukaku kepada bibi, paman, nenek dan sepupuku, karena aku akan tau apa yang terjadi, yang terjadi hanyalah pertengkaran yang luar biasa hanya karena hal kecil, menurutku sih itu hal kecil, tak tau dengan orang lain. Aku lebih sering menyimpan lukaku sendirian, ketika aku terluka karena pilih kasih seorang ibu, aku segera kekamar dan mengunci kamar itu, aku akan menangis sambil menahan tangis supaya tak pecah, jika tangisku pecah maka yang di luar akan mendengarnya dan sudah pasti pertengkaran akan terjadi, bisa membayangkan tidak bagaimana menahan rasa sakit hati karena pilih kasih, kemudian ingin menangis namun harus menahan agar tangisan itu tak menimbulkan suara, amat sakit memang, tapi begitulah aku menyembuhkan lukaku walau tak sembuh total.
Perlahan penghuni rumah itu mulai menghilang satu persatu, mulai dari anak bibi paling kecil, ia memutuskan untuk ngekos, ia berusaha sendiri di luar rumah dengan kehidupan kota medan yang keras, kemudian ia merantau ke nias bekerja di Susi Air, senalnjutnya merantau ke Ibu Kota Jakarta dan yang terakhir ia memutuskan untuk mengadu nasib di pulau dewata Bali. Anak bibi yang ketiga (diatas yang paling kecil) ia menikah dan tinggal bersama suaminya, anak bibi yang nomor dua juga memutuskan untuk ngekos. Kalau anak bibi yang pertama sejak aku kecil sudah berada di Jakarta dan tak pernah pulang kerumah.
Semua menghilang secara perlahan karena tak tahan dengan kondisi rumah yang amat di penuhi dengan masalah, pamanku bercerai dengan tante, beberapa tahun kemudian ia menikah lagi dengan tetangga yang tak terlalu jauh, dari pernikahan paman yang pertama mereka belum di karunai seorang anak, dan pada pernikahan yang kedua paman di karuniai dua orang anak cewe dan cowo. Semua menghilang, karena tradisi padang perempuan yang melamar jadinya pamanku tinggal di rumah istri bersama dengan keluarga dari istrinya, mungkin juga karena istrinya tak mau tinggal dirumah itu atau karena orang tuanya tak mau perpisah dari anaknya walaupun itu hanya berjarak sekitar 100 meter dari rumah.
Luka ? sudah pasti sering aku mengalaminya, luka yang aku alami bukanlah luka fisik, namun luka itu selalu terjadi pada hati yang rapuh ini, luka-luka itu membekas hingga kini aku menulis tulisan ini. Luka di hati justru lebih berbahaya dari luka fisik, luka fisik mungkin bekasnya akan hilang dan sakitnya sudah pasti akan menghilang secara perlahan, namun luka di hati ini akan selalu membekas, apalagi jika mengingatnya dengan detail, yang ada akan bertambah amat sakit hati ini. Untuk teman-teman, baiknya jangan pernah menciptakan luka di hati seseorang, sungguh luka di hati itu sulit untuk hilang.
Bersambung dulu deh ya, mau sarapan pagi duluhh....
0 komentar
Silahkan berikan komentarmu