Jalan Cilebut Raya Penuh Kenangan Bahagia
23:37Sementara pake gambar ini aja dulu, ntar jalan cilebut raya menyusul |
Rindu, wanita yang sampai saat ini
menguasai relung hati-ku. Setelah Rabb-ku tentunya.
Maaf saja bila disalah satu
postingan ada sebuah kata gila yang kubuat tanpa melibatkan Tuhan di dalamnya.
Bukan karena tak teringat melibatkan Tuhan. Tapi aku rasa itu tidak terlalu
perlu. Karena kita sama-sama tau, Tuhan selalu terliba dalam segala hal urusan
kita. Dari hal yang besar hingga yang terkecil sekali-pun.
Jadi, mari kita lanjutkan.
Jam pulang kantor-pun tiba. Aku
masih menyelesaikan tulisan-ku yang sudah aku post di blog ini sebelumnya.
Rindu juga masih sibuk dengan kegiatannya. Entah apa. Mungkin sedang ber-chatting ria dengan kekasihnya dengan
perasaan yang berbunga-bunga teramat bahagia. Sedang aku? Menahan luka yang aku
juga menikmati rasanya. Keperihan nan indah. Hanya Rindu yang bisa membuat
perasaan-ku begini. Mungkin karena sudah berulang kali tersakiti. Jadi, luka
karena cinta yang tak terbalaskan dari Rindu aku nikmati dengan senang hati.
Disaat aku beberes bersiap pulang,
Rindu bertanya, ‘dek, ntar pulang lewat mana?’ sambil beberes juga dia
melayangkan pertanyaan basa-basi itu yang intinya ingin nebeng pulang bersama. Aku
menyetujuinya. Meski dia berkata ‘antarkan aku sampai jalanan itu saja’. Ini
bukan gombal, sampai kemana-pun (selama aku sanggup) aku akan mengantarkan
Rindu ke tempat yang dia mau. Tapi sayang, sayang, sayang, ya aku memang sayang
sama dia. Eh, hehehe
Singkat cerita, kami selesai
beberes bersama. Aku siap lebih dulu sih. Dan menunggu dia berdandan.
Sepertinya dia mau menghadiri sebuah acara. Entah apa acaranya, sayang, iya aku
memang sayang sama dia. Hehe. Maksudnya sayang, aku tak bertanya padanya. Aku
menunggu dia berdandan, lama. Mungkin jika aku ingin jogging ke planet pluto
dan balik lagi ke bumi, dia belum selesai dandan juga. Tapi, ada tapinya.
Setelah dandan, Rindu menjadi wanita yang baru. Cantiknya nambah dan cintaku
padanya semakun bertumbuh.
Kami keluar dari kantor bersamaan.
Aku mengambil motor-ku di parkiran kantor. Menaikinya dan menunggu Rindu
menaiki jok bagian belakang yang jarang sekali membonceng orang. Hanya
membonceng semilir angin yang terkadang menghinggap di jok belakang,
#apasih.
Aku mulai mengendarai motor-ku ke
lokasi yang dia inginkan. Ditepi jalan. Ia ingin aku berhenti ditepi jalan. Aku
bertanya, ‘sebenarnya mau kemana? Cilebut?’, dia menjawab ‘engga, aku mau ke
lenteng agung’ dia sedikit tak enak hati tuk jawab pengen ke stasiun cilebut. Mungkin
dia tau kalo dia bilang mau ke stasiun cilebut maka aku langsung
mengantarkannya ke sana. Aku balas lagi jawabannya dengan pertanyaan, ‘iya ke
lenteng agungnya dari stasiun cilebut kan?’ dan akhirnya dia mengakui.
Aku mengarahkan motor-ku ke jalan
raya cilebut. Jalan yang penuh dengan kenangan. Jalanan yang selalu aku
rindukan. Tentunya ketika berdua dengannya menempuh perjalanan mengantarkan
Rindu ke stasiun itu.
Sebenarnya. Dia ingin aku
menurunkan ditepi jalan baru. Kemudian dia nyebrang dan menanti angkot menuju
stasiun cilebut. Tapi, aku yang sudah mengira dia menuju stasiun cilebut pun
inisiatif melanjutkan perjalanan ke sana. Dan semakin yakin karena dia mengakui
ingin ke sana. Ku pacu motor-ku, tidak cepat atau lambat. Sedang-sedang saja.
Dibawa santai saja. Aku ingin lebih lama bersamanya. Berdua di atas motor
menyusuri jalan raya cilebut tanpa ngebut.
Sepanjang perjalanan, ada banyak pembahasan
yang kami bahas. Salah satunya tentang menjaga jarak. Aku ungkapkan saja bahwa
satu sisi diriku tidak menerima. Tapi sisi aku yang lain. Sisi yang menjadi
pusat kendali. Mencoba menerima apa yang terjadi dan menghormati keputusannya.
Aku berkata, ‘ya sudah kalau
begitu. Aku mencoba menerima keputusan itu. Mungkin satu sisi-ku yang tak
menerima itu karena rasa cemburu. Dan rasa cemburu itu membuat dalil-dalil islam
yang aku ketahui keluar tuk mematahkan keputusan-mu. Padahal, kalo keputusan
ini ga diungkapkan, dalil-dalil yang aku ketahui juga akan aku abaikan.’ Begitulah
aku ungkapkan padanya dengan perasaan yang sulit dijelaskan rasanya.
Begitulah kita. Kita selalu
mengeluarkan ilmu yang kita sendiri tak mengamalkannya dah tak melaksanakannya
hanya untuk kepentingan diri sendiri, tuk mematahkan perkataan seseorang. Semua
demi kepentingan pribadi. Merasa tak terima dengan apa yang terjadi dan
merasakan ketidakadilan yang menyakiti hati. Padahal, blia seseorang itu tak
mengemukakan pernyataan yang membuat kita merasa tak terima. Kita juga tak
pernah mengamalkan ilmu atau dalil yang kita keluarkan ketika mencoba
mematahkan pendapat atau argumeen seseorang.
Banyak perbincangan sepanjang jalan
raya cilebut. Dan sepanjang jalan itu, aku merasakan bahagia yang tak terkira.
Meski ada perbincangan-perbincangan yang membuat hati sedikit terluka. Tapi tak
mengapa, karena rasa bahagia lebh besar terasa.
Ada satu waktu di mana aku berkata
padanya, ‘udah lama ya..’ dia bertanya ‘lama apanya?’ dan aku menjawab ‘seperti
ini, berdua diatas motor’. Entah apa reaksinya di belakang. Entah senang atau
merasa jijik. Ya hanya dia, malaikat dan Tuhan yang tau. Yang jelas, aku merasa
bahagia saat itu.
Tak terasa, sampai juga di stasiun
cilebut. Jalanan macet di dekat stasiun. Dia berkata ‘sampai sini aja dek, kamu
muter balik aja di sini’. Tak terlalu jauh dari stasiun. Aku menyetujui
usulnya. Sebenarnya ingin mengantarkan sampai tepat ke depan pintu gerbang
stasiun. Tapi aku menahan itu, tak mau membuatnya kesal. Ya, aku
mengantarkannya sampai stasiun cilebut juga bukan permintaannya, tapi inisiatif
aku membawanya. Pasti sebal banget dia jika aku kembali tak menuruti
perkataannya yang satu ini. Maka aku setujui dan aku muter balik menuju daerah
warung jambu.
Sepanjang jalan arah pulang, hujan
rintik-rintik kembali turun. Hari ini entah kenapa hujan terus mengguyur kota
Bogor. Dan sore ini, sepulang aku mengantarkan wanita yang aku cinta,
rintik-rintik hujan kembali berjatuhan. Aku rasa, langit-pun ikut merasakan
kesedihan dalam hati karena cinta-ku yang tulus tidak terbalaskan.
Aku memacu motor dengan kecepatan
80km/jam. Menuju suatu tempat tuk menghibur diri yang sudah aku rencanakan
sebelumnya. Dan mengunjungi klinik tuk mengobati batuk yang tak berhenti sudah
beberapa hari.
Rindu? Mungkin dia telah menaiki
keretanya. Menuju tempat yang ia tuju. dan berbahagia disana. Sekarang, aku
akan lebih jarang bertanya padanya. Mencoba menghormati keputusannya tuk
menjaga jarak demi kelancaran hubungannya dengan kekasih yang menjadi cintanya.
Ah sudahlah.
Jalan cilebut raya, selalu
membuat-ku bahagia setiap melewatinya. Meski ada dan tiada dirinya. Karena, ku
kan kembali mengingat kenangan dengannya ketika melewati jalan cilebut raya
yang selalu membuat-ku bahagia karena banyak menyimpan cerita.
Ah, kalimat ‘kau harus
melepaskannya’ benar-benar menggangu kepala.
Iya, iya, aku akan coba tuk
melepaskannya. Semoga aku bisa.
Tapi, tak salah kan mencoba
mengenang kembali potongan cerita bahagia saat bersamanya melewati jalanan
cilebut raya? hehehehehehehehehehheheheheheheheehehhehehehehehehehehehhehe
11.36 WIB / 4 Oktober 2016
@ The Angkringan Caffee, Bogor Kota Hujan.
0 komentar
Silahkan berikan komentarmu